Kilas Perjalanan RKUHP, Penantian Puluhan Tahun hingga Disahkan Jadi UU
Suasana rapat paripurna ke-11 DPR Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023, saat mengesahkan RKUHP menjadi UU, Selasa (6/12/2022).NICHOLAS RYAN ADITYA)
ditor : Aryo Putranto Saptohutomo
JAKARTA,- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang. Hal itu terjadi dalam pengambilan keputusan tingkat II yang dilakukan DPR Rapat Paripurna ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023, Selasa (6/12/2022). "Selanjutnya, saya akan menanyakan kepada setiap fraksi apakah rancangan undang undang tentang kitab hukum pidana dapat disetujui?" kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad selaku pemimpin sidang, Selasa.
"Setuju," jawab peserta sidang diiringi ketukan palu Dasco tanda persetujuan. Keputusan mengesahkan RKUHP menjadi undang-undang mengakhiri penantian selama puluhan tahun. Perjalanan RKUHP KUHP sebelumnya merupakan warisan dari masa kolonial Hindia Belanda dengan nama resmi Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI). Hal ini dikarenakan setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pemerintah belum menetapkan terjemahan resmi WvSNI.
KUHP merupakan induk peraturan hukum pidana di Indonesia. WvSNI merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) yang diberlakukan di Belanda sejak tahun 1886.
Aturan hukum pidana itu bersumber dari Code Napoleon atau Kitab Hukum Pidana Napoleon pada 1810. Saat itu Perancis menjajah Belanda dan sang pemimpin saat itu, Napoleon Bonaparte, menerapkan aturan hukum itu di wilayah jajahannya. Pemerintah Belanda yang menduduki Indonesia saat itu menerapkan penyesuaian dalam memberlakukan WvS. Beberapa pasal dihilangkan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda. WvSNI diberlakukan di Indonesia sejak 1918. Saat itu, Indonesia yang dijajah Belanda masih bernama Hindia Belanda. Pasca kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengganti sebutan WvSNI menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP pada 1946. Upaya memperbarui KUHP sudah mulai muncul sejak berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional pada 1958.
Baca juga: KPAI Sampaikan Enam Rekomendasi ke Wali Kota Depok Soal Penggusuran SDN Pondokcina 1
Baca juga: KPAI Sampaikan Enam Rekomendasi ke Wali Kota Depok Soal Penggusuran SDN Pondokcina 1
agasan pembaruan KUHP juga dibahas dalam Seminar Hukum Nasional I pada 1963. Pemerintah kemudian mulai merancang RKUHP sejak 1970 untuk mengganti KUHP yang berlaku saat ini. Saat itu tim penyusun RKUHP diketuai oleh Prof Soedarto dan diperkuat beberapa Guru Besar Hukum Pidana lain di Indonesia yakni Prof Roeslan Saleh, Prof Moeljanto, Prof Satochid Kartanegara, Prof Oemar Seno Adji, Prof Andi Zainal Abidin, dan Prof Barda Nawawi Arief. Draf RKUHP sebenarnya selesai disusun pada 1993. Namun, pembahasannya terhenti di masa Menteri Kehakiman Oetojo Oesman. Pembahasan RKUHP kembali dilanjutkan pada masa Menteri Kehakiman Muladi (1998), Menkumham Yusril Ihza Mahendra (2001-2004), dan Hamid Awaluddin (2004-2007).
Pada 2004, tim baru pembuatan RKUHP dibentuk di bawah Muladi. Draf RKUHP itu kemudian diserahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada DPR untuk dibahas 8 tahun kemudian atau pada 2012. DPR periode 2014-2019 kemudian menyepakati draf RKUHP dalam pengambilan keputusan tingkat pertama. Namun, timbul berbagai reaksi dari masyarakat. Gelombang protes terhadap sejumlah pasal RKUHP muncul dari masyarakat, termasuk dari para pegiat hukum dan mahasiswa. Pada September 2019, Presiden Joko Widodo yang menggantikan SBY memutuskan untuk menunda pengesahan RKUHP dan memerintahkan peninjauan kembali pasal-pasal yang bermasalah. Menurut catatan, pembahasan RKUHP dilakukan di masa kepemimpinan dari 7 presiden berbeda. Yaitu Soekarno, Soeharto, Bacharuddin Jusuf Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, SBY, dan Joko Widodo.
Selain itu, pembahasan RKUHP juga dilakukan di masa kepemimpinan 19 Menteri Kehakiman atau Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. RKUHP disahkan menjadi UU pada masa Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly. RKUHP yang disahkan terdiri dari 37 bab dan 624 pasal.
Pasal kontroversial Hingga menjelang disahkan, kelompok masyarakat sipil menilai RKUHP masih mengandung sejumlah pasal yang bermasalah. Sebanyak 11 pasal yang menjadi sorotan dari koalisi masyarakat sipil adalah: Pasal terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat. Pasal soal hukuman mati. Larangan penyebaran paham yang tak sesuai Pancasila. Penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara. Contempt of court atau penghormatan pada badan peradilan. Kohabitasi atau hidup bersama di luar perkawinan. Ketentuan tumpang tindih dalam Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Larangan unjuk rasa tanpa izin. Pelanggaran HAM berat. Ancaman hukum bagi koruptor yang terlalu ringan. Korporasi sulit dihukum. Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Minta Larangan Unjuk Rasa dalam RKUHP Dievaluasi Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil, Citra Referandum, menilai masih ada pasal karet yang diterapkan dalam RKUHP. Menurut dia, draf RKUHP terbaru yang bertanggal 30 November 2022 masih menyimpan pasal-pasal yang dapat mengekang kebebasan demokrasi. Salah satunya soal larangan menyebarkan paham komunisme atau marxisme dan leninisme. “Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di Orde Baru,” ujar Citra. Kemudian, Ketua Divisi Hukum Kontras Andi Muhammad Rizaldi menyoroti pasal yang mengatur ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana HAM berat dalam RKUHP.
isalnya, kejahatan genosida di UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dipidana penjara paling singkat 10 tahun, tetapi di Pasal 598 dan 599 RKUHP diatur menjadi 5 tahun. "Ancaman hukuman tindak pidana yang berat terhadap HAM dalam RKUHP lebih ringan dibanding ancaman hukuman pelanggaran HAM berat dalam UU Pengadilan HAM," kata Andi.
Sudah mendesak Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, tidak mungkin 100 persen masyarakat setuju dengan RKUHP yang akan disahkan. Akan tetapi, pemerintah menilai KUHP yang ada saat ini harus segera diperbaiki. "Ini sudah dibahas dan disosialisasikan ke seluruh penjuru Tanah Air, penjuru stakeholder. Kalau untuk 100 persen setuju, tidak mungkin," ucap Yasonna di Gedung DPR. Menurut dia, KUHP yang ada sudah ortodoks. Sementara itu, RKUHP berisi banyak hal yang lebih bagus bagi masyarakat.
"Dalam KUHP sudah banyak reformatif bagus. Kalau ada perbedaan pendapat sendiri, nanti kalau sudah disahkan, gugat di MK itu mekanisme konstitusional," kata dia. Malu pakai hukum Belanda Selanjutnya, Yasonna menyampaikan kepada masyarakat yang mendemo RKUHP bahwa Indonesia harus memikirkan perbaikan terkait KUHP. Sebab, sudah 63 tahun Indonesia menggunakan undang-undang ciptaan Belanda itu. "Karena apa? Malu kita sebagai bangsa memakai hukum Belanda. Tidak ada pride sebagai anak bangsa saya," kata Yasonna.
asonna memaklumi perbedaan pendapat yang terjadi di masyarakat. Ia meminta agar mereka yang masih menolak agar melakukan gugatan melalui Mahkamah Konstitusi (MK). "Nanti saya mohon gugat saja di MK. Lebih elegan caranya," kata dia. (Penulis : Nicholas Ryan Aditya, Tatang Guritno, Adhyasta Dirgantara | Editor : Diamanty Meiliana, Icha Rastika, Novianti Setuningsih)
Sudah mendesak Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, tidak mungkin 100 persen masyarakat setuju dengan RKUHP yang akan disahkan. Akan tetapi, pemerintah menilai KUHP yang ada saat ini harus segera diperbaiki. "Ini sudah dibahas dan disosialisasikan ke seluruh penjuru Tanah Air, penjuru stakeholder. Kalau untuk 100 persen setuju, tidak mungkin," ucap Yasonna di Gedung DPR. Menurut dia, KUHP yang ada sudah ortodoks. Sementara itu, RKUHP berisi banyak hal yang lebih bagus bagi masyarakat.
"Dalam KUHP sudah banyak reformatif bagus. Kalau ada perbedaan pendapat sendiri, nanti kalau sudah disahkan, gugat di MK itu mekanisme konstitusional," kata dia. Malu pakai hukum Belanda Selanjutnya, Yasonna menyampaikan kepada masyarakat yang mendemo RKUHP bahwa Indonesia harus memikirkan perbaikan terkait KUHP. Sebab, sudah 63 tahun Indonesia menggunakan undang-undang ciptaan Belanda itu. "Karena apa? Malu kita sebagai bangsa memakai hukum Belanda. Tidak ada pride sebagai anak bangsa saya," kata Yasonna.
asonna memaklumi perbedaan pendapat yang terjadi di masyarakat. Ia meminta agar mereka yang masih menolak agar melakukan gugatan melalui Mahkamah Konstitusi (MK). "Nanti saya mohon gugat saja di MK. Lebih elegan caranya," kata dia. (Penulis : Nicholas Ryan Aditya, Tatang Guritno, Adhyasta Dirgantara | Editor : Diamanty Meiliana, Icha Rastika, Novianti Setuningsih)
Tags:
Nasional